ULUMUL QUR'AN
Oleh :
Siti Afniatin
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an
adalah mukjizat Islam yang kekal, yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah
Muhammad saw, sebagai bukti besar atas kenabian. Di dalamnya terkandung ilmu
pengetahuan yang sedemikian luasnya, yang apabila ditelaah dan dipelajari, akan
memberikan penerangan serta membimbing manusia menuju jalan yang lurus. Akan
tetapi walau demikian, al-Qur’an bukanlah kitab ilmiah seperti kitab ilmiah
yang dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan. Misi al-Qur’an adalah dakwah untuk
mengajak manusia menuju jalan yang terbaik. Dan al-Qur’an pun enggan
memilah-milah pesan-pesannya, agar timbul kesan bahwa satu pesan lebih penting
dari pesan yang lain. Allah swt yang menurunkan al-Qur’an menghendaki agar
pesan-pesan-Nya diterima secara utuh dan menyeluruh.
Sedangkan
tujuan al-Qur’an dengan memilih sistematika yang seakan-akan tanpa keteraturan,
adalah untuk mengingatkan manusia bahwa ajaran yang ada di dalam al-Qur’an
adalah satu kesatuan yang terpadu yang tidak dapat di pisah-pisahkan. Dan bagi
mereka yang tekun mempelajarinya justru akan menemukan keserasian hubungan yang
mengagumkan, sehingga kesan yang tadinya terlihat kacau, berubah menjadi kesan
yang terangkai indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung
dan pangkalnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud munasabah Al
Quran?
2.
Bagaimana urgansi munasabah dalam
penafsiran Al quran?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui yang dimaksud
munasabah Al Quran.
2.
Untuk mengerti urgansi munasabah
dalam penafsiran Al quran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Munasabah
Secara bahasa Munasabah berasal dari kata ناَسَبَ-يُنَاسِبُ-مُنَاسَبَةً yang berarti
dekat, serupa, mirip, dan rapat. الْمُنَاسَبَة sama
artinya dengan المُقَارَبَة yakni
mendekatkannya dan menyesuaikannya. Annasib juga berarti ar-rabith,
yakni ikatan, pertalian, hubungan.[1]
Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau
keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al-Qur’an. Ibnu Arabi, sebagaimana
dikutip oleh imam As-Sayuti, mendefiisikan munasabah itu kepada keterkaitan
ayat-ayat Al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia
terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapid an sistematis. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa munasabah adalah suatu ilmu yang membahas tentang keterkaitan
atau keserasian ayat-ayat Al-Qur’an antar satu dengan yang lain.[2]
Berdasarkan kajian munasabah, ayat-ayat Al-Qur’an
dianggap tidak tersaing antara satu dari yang lain. Ia mempunyai keterkaitan,
hubungan, dan keserasian. Hubungan itu terletak antara ayat dengan ayat, antara
nama surah denagn isi surah, awal surah denagan akhir surah, antara
kalimat-kalimat yang terdapat dalam setiap ayat dan lain sebagainya.[3]
B.
Macam-macam Munasabah
Ditinjau dari
sifatnya, munasabah terbagi menjadi dua yaitu:
1.
Zhahir
Irtibath (penyesuaian yang nyata)
Munasabah ini
terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan
kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Deretan
beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu terkadang, ayat yang satu
berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian, atau pembatas
dengan ayat yang lain. Sehingga semua ayat menjadi satu kesatuan yang utuh dan
tidak terpisahkan. Sebagai contoh, adalah hubungan antara ayat 1 dan 2 dari
surat al-Isra’, yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan
diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya Tarurat kepada Nabi Musa as. Dari
kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya memberikan keterangan tentang
diutusnya nabi dan rasul.[4]
2.
Khafy Irtibath
(persesuaian yang tidak nyata)
Munasabah ini
terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga
tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing
ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun
karena yang satu bertentangan dengan yang lain.[5]Misalnya hubungan antar ayat 189 dan ayat 190 surat
Al-Baqarah:
يَسْأَلُوْنَكَ
عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَاْلحَجِّ وَلَيْسَ اْلبِرُّ
بِأَنْ تَأْتُوا اْلبُيُوتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى
وَأْتُوْا اْلبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ 189
وَقَاتِلُوْا
فِيْ سَبِيْلِ اللهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوْا إِنَّ اللهَ
لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ 190
Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan
orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (189)
Dan perangilah
di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (190).
Ayat 189 di
atas menjelaskantentang bulan sabit (hilal), tanggal untuk tanda waktu dan
untuk jadwal ibadah haji. Sedangkan ayat 190 menjelaskan perintah menyerang
kepada orang-orang yang menyerang umat islam. Padahal kalaulah dicermati dapat
diketahui munasabahnya, yaitu pada waktu haji umat islam dilarang berperang.
Kecuali kalau diserang musuh, maka dalam kondisi demikian mereka boleh bahkan
perlu melakukan balasan.[6]
Adapun
munasabah ditinjau dari segi materinya, terbagi menjadi dua bagian yaitu:
munasabah (hubungan) antar ayat dengan ayat dan munasabah (hubungan) antar
surat denagan surat.
Dua pokok hubungan itu terperinci sebagai berikut:
a. Hubungan ayat dengan ayat meliputi:
1) Hubungan Kalimat dengan Kalimat dalam Ayat.
Hubungan
antara ayat dengan ayat itu tidak selalu ada pada semua ayat Al-Qur’an. Ayat
yang satu dengan ayat yang lain adakalnya muncul secara jelas menunjukkan
hubungan kalimat satu dengan yang lainnya. Hubungan itu memberikan kejelasan
satu sama lain tentang maksud keseluruhan ayat.
Namun ada juga
hubungan yang tidak jelas. Kandungan makna suatu ayat menjadi kabur karena
kaitan kalimat satu denagan kalimat lain tidak dipahamkan secara utuh.[7]
Munasabah ayat
dengan ayat dalam setiap surat menambah keyakinan para mufasir bahwa ikatan
antara suatu ayat dengan ayat lain memang erat. Oleh karena itu, hubungan
tersebut juga mendukung keyakinan tentang adanya kaitan ayat dengan sebab
turunnya.[8]
Hubungan antara ayat dengan ayat
Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, pertama, hubungan yang sudah jelas
antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat dengan
awal kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu dengan masalah yang
dibahah kemudian.
Kedua hubungan yang
belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan kalimat. Hal tersebut
terbagi menjadi dua bentuk[9], yaitu:
a) Hubungan yang ditandai dengan huruf ‘athaf
Munasabah dengan menggunakan waw
‘athaf ini biasanya menghubungkan dua hal yang berlawanan, seperti masuk dan
keluar, turun dan naik, langit dan bumi, rahmat dan azab dan lain sebagainya. [10]Seperti yang terlihat dalam Surah Saba’ayat 2:
يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِيْ الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا
وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَا وَهُوَ
الرَّحِيْمُ
الْغَفُوْر
Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke
luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan
Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.
Ungkapan مَا يَلِجُ فِيْ الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ seolah-olah
tidak berhubungan dengan ungkapan وَمَا يَنْزِلُ مِنَ
السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَا sebab yang pertama berbicara tentang
sesuatu yang masuk dan keluar dari bumi sedangkan yang terakhir berbicara
tentang sesuatu yang turun dari langit. Akan tetapi, kedua ungkapan itu masih
berhubungan dan saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Sebab focus
pembicaraannya masalah ilmu tuhan. Dia mengetahui apa saja yang terjadi di
langit dan di bumi, kedua ungkapan itu membicarakan topic yang sama yaitu ilmu
Allah.[11]
Contoh yang
lain, yaitu terdapat pada surah Al-Ghasyiyah, ayat 17-20
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana
diciptakan. Dan langit, bagaimana ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana
ditegakkan. Dan bumi, bagaimana dihamparkan.
jika diperhatikan, ayat-ayat tersebut sepertinya tidak terkait satu dengan
yang lain, padahal hakekatnya saling berkaitan erat. Penyebutan dan penggunaan
kata unta, langit, gunung, dan bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat
dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang
pasir, di mana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun
keadaan tersebut tak kan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang
diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput di mana mereka
mengembala, dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk
berlindung dan berteduh, serta mencari rerumputan dan air dengan cara
berpindah-pindah di atas hamparan bumi yang luas.[12]
b) Hubungan yang tidak memakai huruf
‘athaf
Munasabah
yang tidak memakai huruf ‘athaf sandarannya adalah qorinah ma’nawiyah,[13]sehingga
membutuhkan penyokong sebagai bukti keterkaitan ayat-ayat, berupa pertalian
secara maknawai. Dalam hal ini terdapat beberapa bentuk yaitu:
a.
At-Tanzhir (التنظير), yaitu
hubungan yang mencerminkan perbandingan,atau membandingkan dua hal yang
sebanding.[14] Misalnya ayat 4 dan 5 surat Al-anfal:
أُولَئِكَ هُمُ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ
وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (٤)كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ الْمُؤْمِنُونَ
بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ (٥
Huruf al-kaf
(كَ) pada ayat lima berfungsi sebagai
pengingat dan sifat bagi fi’il yang tersembunyi (مضمر فعل ).Hubungan
itu tampak dari jiwa itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta rampasan,
seperti yang kalian lakukan pada perang badar meskipun kaummu membenci cara
demikian itu. Allah SWT menurunkan ayat ini agar kaum Nabi Muhammad SAW
mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya Rasul dari
kalangan mereka (surat Al-Baqarah(2):151) : كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ, sebagai mana juga kaummu membencimu
(Rasul) ketika engkau mengajak mereka keluar dari rumah untuk berjihad.
Hubungan ini terjadi dengan ayat yang jauh sebelumnya.[15]
b. Al-Istithrad (الإسطراد), artinya peralihan kepada penjelasan lain.
Misalnya, pada surat Al-A’raf ayat 26:
ياَ بَنِيْ آدَم َقَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِيْ
سَوْءاَتِكُم ْوَرِيْشًا وَلِباَسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْر ذلِكَ مِنْ آيَات
ِاللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami
telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah
untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu
adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu
ingat.
Pada ayat tersebut membahas tentang pakaian takwa lebih baik. Allah
menyebutkan pakaian itu untuk menginagatkan manusia bahwa pakaian penutup aurat
itu lebih baik. Pakaian berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang Allah
ciptakan. Pakaian merupakan penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat
adalah hal yang jelek dan bejat. Sedangkan penutup aurat adalah pintu takwa.[16]
c. Al-Mudhodah (المضادة) artinya berlawanan, misalnya:
إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
Sesungguhnya
orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu
beri peringatan, mereka tidak akan beriman.
Ayat ini
menerangkan watak orang kafir yang pembangkang, keras kepala tidak percaya
kepada kitab-kitab Allah. Sedangkan pada ayat sebelumnya Allah menerangkan watak orang mukmin sangat
berlawanan dengan watak orang kafir. Watak orang-orang mukmin adalah memiliki
kepercayaan yang kuat. Dia percaya adanya yang ghaib, melaksanakan shalat,
memiliki sifat kebersamaan yaitu tidak senang jika melihat saudaranya
kesulitan, baik dalam bidang materi maupun yang lainnya, lalu diambilkan
sebagian dari apa yang dimiliki dan diinfakkan kepada yang memerlukan, dan
percaya akan adanya kitab-kitab Allah sebelum Al-Qur’an, apalagi Al-Qur’an.
Mukmin yakin adanya (kehidupan ) akhirat.[17]
Ayat tersebut berbunyi:
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ
بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ(3)
وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزلِ مِنْ قَبْلِك وَبِالآخِرَة ِهُمْ يُوْقِنُوْنَ
(4)
(yaitu)
mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,
dan mereka
yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan
Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat.
b. Hubungan Ayat dengan Ayat dalam
Satu Surat
Munasabah dalam bentuk ini secara
jelas dapat dilihat dalam surah-surah pendek. Misalnya surah Al-Ikhlas yang
berbunyi:
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد (1) اللهُ
الصَّمَدُ(2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَد (3)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَد (4)
Masing-masing ayat dalam surat
tersebut saling menguatkan, thema pokoknya, yaitu tentang keesaan tuahan.
Contoh lain dari model ini dapat
dilihat dalam Surah Al-Baqarah ayat 255 dan ayat 256 yang berbunyi:
اللهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ
الْحَيُّ اْلقَيُّوْمُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْم لَهُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا
بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِم وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيْطُوْنَ
بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلّاَ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُهُ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَلَا يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ اْلعَلِيُّ الْعَظِيم(255)
Allah, tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya);
tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.
Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui
apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi
Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara
keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat berikutnya berbunyi:
لاَ إِكْرَاهَ فِيْ الدِّيْنِ قَدْ
تَبَيّنَ الرُّشْدِ مِنَ اْلغَي...........
Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat…..
Dengan disebutkannya keesaan Allah secara sempurna
(dalam ayat 255), maka selanjutnya dalam ayat 156 ditegaskan bahwa tidak perlu
adanya paksaan dalam memeluk agama untuk memepercayai adanya Allah.[18]
c. Hubungan Penutup (فاصلة-فواصل) Ayat dengan Isi Kandungan Ayat
Munasabah ini dapat bertujuan
sebagai:
a) Tamkin
Tamkin artinya memperkokoh atau mempertegas pertanyaan. Fashilahdalam
suatu ayat memperkokoh pertanyaan yang tersebut dalam kandungan ayat itu. Arti fashilah
di sini berkaitan langsung dengan apa yang dimaksud ayat itu bila tidak ada
hubugan ini kandungan ayat itu tidak akan memberi arti yang lengkap boleh jadi
mengelirukan.[19]
Contoh pada surat Al-Ahzab ayat 25
وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا خَيْرًا وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ
الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزً
Dan Allah
menghalau orang-orang yang kafir itu yang Keadaan mereka penuh kejengkelan,
(lagi) mereka tidak memperoleh Keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan
orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha
Perkasa.
Dari ayat ini dipahami bahwa Tuhan menghindarkan orang mukmin dari perang
disebabkan kelemahan mereka (orang-orang kafir), karena angin kencang atau
malaikat yang dikirim Allah. Pemahaman yang kurang lurus ini diluruskan dengan fhasilah
artinya Allah berkuasa memisahkan antara dua golongan dalam perang tersebut
(dalam perang badar). Kejadian ini menguatkan orang-orang beriman agar mereka
merasa bahwa orang-orang mukmin lah yang menang.
b) Al- Ighal
Al-Ighal adalah tambahan keterangan terhadap kandungan ayat yang sudah ada
sebelum fashilah (akhir ayat Al-Qur’an). Sekalipun tidak ada fashilahtersebut,
maksud ayat sudah lengkap.
Misalnya pada surat Al-Maidah ayat 50
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ (50)
kalimat وَمَنْ أَحْسَنُ
مِنَ اللَّهِ حُكْمًا sudah merupakan kalimat sempurna. Akan tetapi, ada persesuaian fashilah-nya
dengan kalimat sebelumnya lalu ditambah dengan لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ. QS. An-Naml: 80
إِنَّكَ
لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا
مُدْبِرِينَ (80)
Makna kalimat ini telah lengkap sampai ke الدُّعَاء, lalu ditambahkan seterusnyaإِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ untuk
menyempurnakan hubungan dengan Fashilah ayat sebelumnya.[20]
d.
Hubungan Surat dengan Surat Meliputi:
1) Hubungan
antara nama-nama surat
Misalnya surat al-Mu’minun, dilanjutkan dengan surat an-Nur, lalu
diteruskan dengan surat al-Furqon. Adapun korelasi nama surat tersebut adalah
orang-orang mu’min berada di bawah cahaya (nur) yang menerangi mereka,
sehingga mereka mampu membedakan yang haq dan yang bathil.[21]
2) Hubungan
antara permulaan surat dan penutupan surat sebelumnya
Misalnya permulaan surat al-Hadid dan penutupan surat al-waqi’ah
memiliki relevansi yang jelas, yakni keserasian dan hubungan dengan tasbih.
3) Hubungan antara awal surat dan
akhir surat
Misalnya munasabah
antar permulaan surat Shad dan penutupannya yang menceritakan kisah orang
kafir. Demikian halnya dengan surat Al-Qashash, dimulai dengan kisah Nabi Musa
dan Fir’aun serta kaum kafir, sedang ayat yang terakhir menggambartkan
pernyataan Allah agar umat islam jangan menjadi penolong bagi orang-orang
kafir, sebab Allah lebih mengerti tentang hidayah.[22]
4) Hubungan antara dua surat dalam
perihal materinya
Yaitu materi surat yang satu sama dengan materi surat yang lain. Misalnya
munasabah antara isi kandungan surat al-baqarah sama-sama menjelaskan tentang
aqidah, ibadah, mua’malah, kisah, janji, dan ancaman. Bedanya kandungan
tersebut dalam surat al-fatihah dijelaskan secara global sedangkan dalam surat
al-baqarah dijelaskan secara perinci.[23]
C.
Urgensi Memahami Munasabah Dalam
Menafsirkan Al-Qur’an
Ilmu munasabah mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu ini dipahami
sebagai pembahasan tentang rangkaian ayat-ayat beserta korelasinya, dengan cara
turunnya yang berangsur-angsur dan tema-tema serta penekanan yang berbeda. Dan
ketika menjadi sebuah kitab, ayat yang terpisah secara waktu dan bahasan itu
dirangkai dalam sebuah susunan yang baku.
Dan ketika
kita menyadari bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, maka ilmu
munasabah menjadi satu topik yang dapat membantu pemahaman dan mempelajari isi
kandungan al-Qur’an. Secara garis besar, terdapat 3 (tiga) arti penting dari munasabah dalam
memahami dan menafsirkan al-Qur’an.[24]Pertama,
dari segi balaghah, korelasi ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah
dalam tata bahasa al-Qur’an. Dan bahasa al-Qur’an adalah suatu susunan yang
paling baligh (tinggi nilai sastranya) dalam hal keterkaitan antara bagian yang
satu dengan bagian yang lainnya. Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang
dalam memahami makna ayat atau surat.
Dalam hal penafsiran bil ma’tsur
maupun bir ra’yi, jelas membutuhkan pemahaman mengenai ilmu tersebut. Izzuddin
ibn Abdis Salam menegaskan bahwa, ilmu munasabah adalah ilmu yang baik,
manakala seseorang menghubungkan kalimat atau ayat yang satu dengan lainnya,
maka harus tertuju kepada ayat-ayat yang benar-benar berkaitan, baik di awal
maupun di akhirnya. Ketiga, sebagai ilmu kritis, ilmu munasabah akan sangat
membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah ayat-ayat
tersebut dipahami secara tepat, dan demikian akan dapat mempermudah dalam
pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna terselubung yang terkandung di
dalamnya.[25]
Jadi, sudah jelas bahwa memahami
munasabah dalam al-Qur’an merupakan hal yang penting dan sangat urgen, terutama
dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga dapat memberikan penafsiran yang
lebih tepat dan rinci, serta akan lebih mendapatkan pemahaman yang sesuai
dengan rasio demi memberikan pencerahan dalam diri untuk lebih meningkatkan
keimanan dan ketakwaan seorang muslim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian
antara ayat-ayat Al-Qur’an. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh imam
As-Sayuti, mendefiisikan munasabah itu kepada keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an
antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai
suatu ungkapan yang rapid an sistematis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
munasabah adalah suatu ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau keserasian
ayat-ayat Al-Qur’an antar satu dengan yang lain
2. Dalam hal penafsiran bil ma’tsur
maupun bir ra’yi, jelas membutuhkan pemahaman mengenai ilmu tersebut. Izzuddin
ibn Abdis Salam menegaskan bahwa, ilmu munasabah adalah ilmu yang baik,
manakala seseorang menghubungkan kalimat atau ayat yang satu dengan lainnya,
maka harus tertuju kepada ayat-ayat yang benar-benar berkaitan, baik di awal
maupun di akhirnya. Ketiga, sebagai ilmu kritis, ilmu munasabah akan sangat
membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
DAFTAR PUSTAKA
Ade, Jamarudin. 2011. Epistimologi Ilmu-ilmu
Al-Qur’an. Bandung: Hakim
Chirzin, Muhammad. 2003.
Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, cet. II. Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Kadar, M. Yusuf. 2009. Studi
Al-Qur’an. Jakarta: Amzah
Rachmat, Syafe’i. 2006. Pengantar
Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia
Shubhi, Al-Shalih. 1977.
Mubahis Fi‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar Al’ilm Li Al- Malayin
Supiana dan M. Karma. 2002. Ulumul Qur’an,. Bandung
: Pustaka Islamika
Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Teras
MAKALAH
MUNASABAH AL - QURAN
Ditulis Untuk
Melengkapi Mata Kuliah Psikologi Perkembangan
Dosen Pengampu Muhammad Nashrul Haqqi, S.Th.I., M.Hum.
Semester 3 B
Oleh :
Kelompok 3
1.
Sholihun
2.
Ria Ardiana
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLOTUL ULAMA’ JEPARA
TAHUN PELAJARAN 2014/2015
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul................................................................................................ i
Daftar
Isi......................................................................................................... ii
BAB
I : Pendahuluan................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B. Rumusan Masalah.................................................................. 1
C. Tujuan Masalah...................................................................... 1
BAB II : Pembahasan................................................................................. 2
A. Pengertian Munasabah.......................................................... 2
B.
Macam – Macam Munasabah............................................... 2
C.
Urgensi Memahami Munasabah Dalam
Menafsirkan
Al-Qur’an................................................................................ 13
BAB
III : Penutup......................................................................................... 15
A. Kesimpulan.............................................................................. 15
Daftar
Pustaka
[9]Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul
Qur’an, cet. II, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa,2003), hlm, 51.
0 komentar:
Posting Komentar