Selasa, 12 Mei 2015

MAKALAH 
ULUMUL QUR'AN



Oleh :
Siti Afniatin



UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA 2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang kekal, yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad saw, sebagai bukti besar atas kenabian. Di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang sedemikian luasnya, yang apabila ditelaah dan dipelajari, akan memberikan penerangan serta membimbing manusia menuju jalan yang lurus. Akan tetapi walau demikian, al-Qur’an bukanlah kitab ilmiah seperti kitab ilmiah yang dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan. Misi al-Qur’an adalah dakwah untuk mengajak manusia menuju jalan yang terbaik. Dan al-Qur’an pun enggan memilah-milah pesan-pesannya, agar timbul kesan bahwa satu pesan lebih penting dari pesan yang lain. Allah swt yang menurunkan al-Qur’an menghendaki agar pesan-pesan-Nya diterima secara utuh dan menyeluruh.
Sedangkan tujuan al-Qur’an dengan memilih sistematika yang seakan-akan tanpa keteraturan, adalah untuk mengingatkan manusia bahwa ajaran yang ada di dalam al-Qur’an adalah satu kesatuan yang terpadu yang tidak dapat di pisah-pisahkan. Dan bagi mereka yang tekun mempelajarinya justru akan menemukan keserasian hubungan yang mengagumkan, sehingga kesan yang tadinya terlihat kacau, berubah menjadi kesan yang terangkai indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung dan pangkalnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud munasabah Al Quran?
2.      Bagaimana urgansi munasabah dalam penafsiran Al quran?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud munasabah Al Quran.
2.      Untuk mengerti urgansi munasabah dalam penafsiran Al quran.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Munasabah
Secara bahasa Munasabah berasal dari kata ناَسَبَ-يُنَاسِبُ-مُنَاسَبَةً  yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat. الْمُنَاسَبَة sama artinya dengan المُقَارَبَة  yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya. Annasib juga berarti ar-rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.[1]
Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al-Qur’an. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh imam As-Sayuti, mendefiisikan munasabah itu kepada keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapid an sistematis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa munasabah adalah suatu ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau keserasian ayat-ayat Al-Qur’an antar satu dengan yang lain.[2]
Berdasarkan kajian munasabah, ayat-ayat Al-Qur’an dianggap tidak tersaing antara satu dari yang lain. Ia mempunyai keterkaitan, hubungan, dan keserasian. Hubungan itu terletak antara ayat dengan ayat, antara nama surah denagn isi surah, awal surah denagan akhir surah, antara kalimat-kalimat yang terdapat dalam setiap ayat dan lain sebagainya.[3]

B.     Macam-macam Munasabah
Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi dua yaitu:
 1.            Zhahir Irtibath (penyesuaian yang nyata)
Munasabah ini terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu terkadang, ayat yang satu berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian, atau pembatas dengan ayat yang lain. Sehingga semua ayat menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Sebagai contoh, adalah hubungan antara ayat 1 dan 2 dari surat al-Isra’, yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya Tarurat kepada Nabi Musa as. Dari kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya memberikan keterangan tentang diutusnya nabi dan rasul.[4]
 2.            Khafy Irtibath (persesuaian yang tidak nyata)
Munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain.[5]Misalnya hubungan antar ayat 189 dan ayat 190 surat Al-Baqarah:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَاْلحَجِّ وَلَيْسَ اْلبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا اْلبُيُوتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوْا اْلبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ 189

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوْا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ 190
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (189)
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (190).
Ayat 189 di atas menjelaskantentang bulan sabit (hilal), tanggal untuk tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji. Sedangkan ayat 190 menjelaskan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat islam. Padahal kalaulah dicermati dapat diketahui munasabahnya, yaitu pada waktu haji umat islam dilarang berperang. Kecuali kalau diserang musuh, maka dalam kondisi demikian mereka boleh bahkan perlu melakukan balasan.[6]
Adapun munasabah ditinjau dari segi materinya, terbagi menjadi dua bagian yaitu: munasabah (hubungan) antar ayat dengan ayat dan munasabah (hubungan) antar surat denagan surat.
Dua pokok hubungan itu terperinci sebagai berikut:
a.       Hubungan ayat dengan ayat meliputi:
1)      Hubungan Kalimat dengan Kalimat dalam Ayat.
Hubungan antara ayat dengan ayat itu tidak selalu ada pada semua ayat Al-Qur’an. Ayat yang satu dengan ayat yang lain adakalnya muncul secara jelas menunjukkan hubungan kalimat satu dengan yang lainnya. Hubungan itu memberikan kejelasan satu sama lain tentang maksud keseluruhan ayat.
Namun ada juga hubungan yang tidak jelas. Kandungan makna suatu ayat menjadi kabur karena kaitan kalimat satu denagan kalimat lain tidak dipahamkan secara utuh.[7]
Munasabah ayat dengan ayat dalam setiap surat menambah keyakinan para mufasir bahwa ikatan antara suatu ayat dengan ayat lain memang erat. Oleh karena itu, hubungan tersebut juga mendukung keyakinan tentang adanya kaitan ayat dengan sebab turunnya.[8]
Hubungan antara ayat dengan ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, pertama, hubungan yang sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu dengan masalah yang dibahah kemudian.
Kedua hubungan yang belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan kalimat. Hal tersebut terbagi menjadi dua bentuk[9], yaitu:
a)      Hubungan yang ditandai dengan huruf ‘athaf
Munasabah dengan menggunakan waw ‘athaf ini biasanya menghubungkan dua hal yang berlawanan, seperti masuk dan keluar, turun dan naik, langit dan bumi, rahmat dan azab dan lain sebagainya. [10]Seperti yang terlihat dalam Surah Saba’ayat 2:
يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِيْ الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَا وَهُوَ
 الرَّحِيْمُ الْغَفُوْر
Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.
Ungkapan مَا يَلِجُ فِيْ الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ  seolah-olah tidak berhubungan dengan ungkapan وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَا sebab yang pertama berbicara tentang sesuatu yang masuk dan keluar dari bumi sedangkan yang terakhir berbicara tentang sesuatu yang turun dari langit. Akan tetapi, kedua ungkapan itu masih berhubungan dan saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Sebab focus pembicaraannya masalah ilmu tuhan. Dia mengetahui apa saja yang terjadi di langit dan di bumi, kedua ungkapan itu membicarakan topic yang sama yaitu ilmu Allah.[11]
Contoh yang lain, yaitu terdapat pada surah Al-Ghasyiyah, ayat 17-20
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan. Dan langit, bagaimana ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan. Dan bumi, bagaimana dihamparkan.
jika diperhatikan, ayat-ayat tersebut sepertinya tidak terkait satu dengan yang lain, padahal hakekatnya saling berkaitan erat. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung, dan bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun keadaan tersebut tak kan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput di mana mereka mengembala, dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk berlindung dan berteduh, serta mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah di atas hamparan bumi yang luas.[12]



b)      Hubungan yang tidak memakai huruf ‘athaf
Munasabah yang tidak memakai huruf ‘athaf sandarannya adalah qorinah ma’nawiyah,[13]sehingga membutuhkan penyokong sebagai bukti keterkaitan ayat-ayat, berupa pertalian secara maknawai. Dalam hal ini terdapat beberapa bentuk yaitu:
a.       At-Tanzhir (التنظير), yaitu hubungan yang mencerminkan perbandingan,atau membandingkan dua hal yang sebanding.[14] Misalnya ayat 4 dan 5 surat Al-anfal:
أُولَئِكَ هُمُ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (٤)كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ الْمُؤْمِنُونَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ (٥
Huruf al-kaf (كَ) pada ayat lima berfungsi sebagai pengingat dan sifat bagi fi’il yang tersembunyi (مضمر فعل ).Hubungan itu tampak dari jiwa itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang kalian lakukan pada perang badar meskipun kaummu membenci cara demikian itu. Allah SWT menurunkan ayat ini agar kaum Nabi Muhammad SAW mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya Rasul dari kalangan mereka (surat Al-Baqarah(2):151) : كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ, sebagai mana juga kaummu membencimu (Rasul) ketika engkau mengajak mereka keluar dari rumah untuk berjihad. Hubungan ini terjadi dengan ayat yang jauh sebelumnya.[15]
b.      Al-Istithrad (الإسطراد), artinya peralihan kepada penjelasan lain.
Misalnya, pada surat Al-A’raf ayat 26:
ياَ بَنِيْ آدَم َقَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِيْ سَوْءاَتِكُم ْوَرِيْشًا وَلِباَسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْر ذلِكَ مِنْ آيَات ِاللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.
Pada ayat tersebut membahas tentang pakaian takwa lebih baik. Allah menyebutkan pakaian itu untuk menginagatkan manusia bahwa pakaian penutup aurat itu lebih baik. Pakaian berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang Allah ciptakan. Pakaian merupakan penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat adalah hal yang jelek dan bejat. Sedangkan penutup aurat adalah pintu takwa.[16]
c.       Al-Mudhodah (المضادة) artinya berlawanan, misalnya:

إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.
Ayat ini menerangkan watak orang kafir yang pembangkang, keras kepala tidak percaya kepada kitab-kitab Allah. Sedangkan pada ayat sebelumnya Allah menerangkan watak orang mukmin sangat berlawanan dengan watak orang kafir. Watak orang-orang mukmin adalah memiliki kepercayaan yang kuat. Dia percaya adanya yang ghaib, melaksanakan shalat, memiliki sifat kebersamaan yaitu tidak senang jika melihat saudaranya kesulitan, baik dalam bidang materi maupun yang lainnya, lalu diambilkan sebagian dari apa yang dimiliki dan diinfakkan kepada yang memerlukan, dan percaya akan adanya kitab-kitab Allah sebelum Al-Qur’an, apalagi Al-Qur’an. Mukmin yakin adanya (kehidupan ) akhirat.[17]
Ayat tersebut berbunyi:

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ(3)

وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزلِ مِنْ قَبْلِك وَبِالآخِرَة ِهُمْ يُوْقِنُوْنَ (4)
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,
dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
b.      Hubungan Ayat dengan Ayat dalam Satu Surat
Munasabah dalam bentuk ini secara jelas dapat dilihat dalam surah-surah pendek. Misalnya surah Al-Ikhlas yang berbunyi:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد (1) اللهُ الصَّمَدُ(2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَد (3)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَد (4)

Masing-masing ayat dalam surat tersebut saling menguatkan, thema pokoknya, yaitu tentang keesaan tuahan.
Contoh lain dari model ini dapat dilihat dalam Surah Al-Baqarah ayat 255 dan ayat 256 yang berbunyi:
اللهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ اْلقَيُّوْمُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْم لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِم وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلّاَ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَلَا يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ اْلعَلِيُّ الْعَظِيم(255)

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
 Ayat berikutnya berbunyi:

لاَ إِكْرَاهَ فِيْ الدِّيْنِ قَدْ تَبَيّنَ الرُّشْدِ مِنَ اْلغَي...........
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…..
 Dengan disebutkannya keesaan Allah secara sempurna (dalam ayat 255), maka selanjutnya dalam ayat 156 ditegaskan bahwa tidak perlu adanya paksaan dalam memeluk agama untuk memepercayai adanya Allah.[18]
c.       Hubungan Penutup (فاصلة-فواصل) Ayat dengan Isi Kandungan Ayat
Munasabah ini dapat bertujuan sebagai:
a)      Tamkin
Tamkin artinya memperkokoh atau mempertegas pertanyaan. Fashilahdalam suatu ayat memperkokoh pertanyaan yang tersebut dalam kandungan ayat itu. Arti fashilah di sini berkaitan langsung dengan apa yang dimaksud ayat itu bila tidak ada hubugan ini kandungan ayat itu tidak akan memberi arti yang lengkap boleh jadi mengelirukan.[19]
Contoh pada surat Al-Ahzab ayat 25

وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا خَيْرًا وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزً

Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang Keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh Keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.
Dari ayat ini dipahami bahwa Tuhan menghindarkan orang mukmin dari perang disebabkan kelemahan mereka (orang-orang kafir), karena angin kencang atau malaikat yang dikirim Allah. Pemahaman yang kurang lurus ini diluruskan dengan fhasilah artinya Allah berkuasa memisahkan antara dua golongan dalam perang tersebut (dalam perang badar). Kejadian ini menguatkan orang-orang beriman agar mereka merasa bahwa orang-orang mukmin lah yang menang.
b)      Al- Ighal
Al-Ighal adalah tambahan keterangan terhadap kandungan ayat yang sudah ada sebelum fashilah (akhir ayat Al-Qur’an). Sekalipun tidak ada fashilahtersebut, maksud ayat sudah lengkap.
Misalnya pada surat Al-Maidah ayat 50

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (50)
kalimat وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا sudah merupakan kalimat sempurna. Akan tetapi, ada persesuaian fashilah-nya dengan kalimat sebelumnya lalu ditambah dengan لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ. QS. An-Naml: 80

إِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ (80)
Makna kalimat ini telah lengkap sampai ke الدُّعَاء, lalu ditambahkan seterusnyaإِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ  untuk menyempurnakan hubungan dengan Fashilah ayat sebelumnya.[20]
d.      Hubungan Surat dengan Surat Meliputi:
1)      Hubungan antara nama-nama surat
Misalnya surat al-Mu’minun, dilanjutkan dengan surat an-Nur, lalu diteruskan dengan surat al-Furqon. Adapun korelasi nama surat tersebut adalah orang-orang mu’min berada di bawah cahaya (nur) yang menerangi mereka, sehingga mereka mampu membedakan yang haq dan yang bathil.[21]
2)      Hubungan antara permulaan surat dan penutupan surat sebelumnya
Misalnya permulaan surat al-Hadid dan penutupan surat al-waqi’ah memiliki relevansi yang jelas, yakni keserasian dan hubungan dengan tasbih.
3)      Hubungan antara awal surat dan akhir surat
Misalnya munasabah antar permulaan surat Shad dan penutupannya yang menceritakan kisah orang kafir. Demikian halnya dengan surat Al-Qashash, dimulai dengan kisah Nabi Musa dan Fir’aun serta kaum kafir, sedang ayat yang terakhir menggambartkan pernyataan Allah agar umat islam jangan menjadi penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah lebih mengerti tentang hidayah.[22]
4)      Hubungan antara dua surat dalam perihal materinya
Yaitu materi surat yang satu sama dengan materi surat yang lain. Misalnya munasabah antara isi kandungan surat al-baqarah sama-sama menjelaskan tentang aqidah, ibadah, mua’malah, kisah, janji, dan ancaman. Bedanya kandungan tersebut dalam surat al-fatihah dijelaskan secara global sedangkan dalam surat al-baqarah dijelaskan secara perinci.[23]

C.    Urgensi Memahami Munasabah Dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Ilmu munasabah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu ini dipahami sebagai pembahasan tentang rangkaian ayat-ayat beserta korelasinya, dengan cara turunnya yang berangsur-angsur dan tema-tema serta penekanan yang berbeda. Dan ketika menjadi sebuah kitab, ayat yang terpisah secara waktu dan bahasan itu dirangkai dalam sebuah susunan yang baku.
Dan ketika kita menyadari bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, maka ilmu munasabah menjadi satu topik yang dapat membantu pemahaman dan mempelajari isi kandungan al-Qur’an. Secara garis besar, terdapat 3 (tiga) arti penting dari munasabah dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an.[24]Pertama, dari segi balaghah, korelasi ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an. Dan bahasa al-Qur’an adalah suatu susunan yang paling baligh (tinggi nilai sastranya) dalam hal keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat.
Dalam hal penafsiran bil ma’tsur maupun bir ra’yi, jelas membutuhkan pemahaman mengenai ilmu tersebut. Izzuddin ibn Abdis Salam menegaskan bahwa, ilmu munasabah adalah ilmu yang baik, manakala seseorang menghubungkan kalimat atau ayat yang satu dengan lainnya, maka harus tertuju kepada ayat-ayat yang benar-benar berkaitan, baik di awal maupun di akhirnya. Ketiga, sebagai ilmu kritis, ilmu munasabah akan sangat membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, dan demikian akan dapat mempermudah dalam pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna terselubung yang terkandung di dalamnya.[25]
Jadi, sudah jelas bahwa memahami munasabah dalam al-Qur’an merupakan hal yang penting dan sangat urgen, terutama dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga dapat memberikan penafsiran yang lebih tepat dan rinci, serta akan lebih mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan rasio demi memberikan pencerahan dalam diri untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang muslim.














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al-Qur’an. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh imam As-Sayuti, mendefiisikan munasabah itu kepada keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapid an sistematis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa munasabah adalah suatu ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau keserasian ayat-ayat Al-Qur’an antar satu dengan yang lain
2.      Dalam hal penafsiran bil ma’tsur maupun bir ra’yi, jelas membutuhkan pemahaman mengenai ilmu tersebut. Izzuddin ibn Abdis Salam menegaskan bahwa, ilmu munasabah adalah ilmu yang baik, manakala seseorang menghubungkan kalimat atau ayat yang satu dengan lainnya, maka harus tertuju kepada ayat-ayat yang benar-benar berkaitan, baik di awal maupun di akhirnya. Ketiga, sebagai ilmu kritis, ilmu munasabah akan sangat membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an










DAFTAR PUSTAKA

Ade, Jamarudin. 2011. Epistimologi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bandung: Hakim
Chirzin, Muhammad. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, cet. II. Yogyakarta :    PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Kadar, M. Yusuf. 2009. Studi Al-Qur’an. Jakarta: Amzah
Rachmat, Syafe’i. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia
Shubhi, Al-Shalih. 1977. Mubahis Fi‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar Al’ilm Li Al-    Malayin
Supiana dan M. Karma. 2002. Ulumul Qur’an,. Bandung : Pustaka Islamika
Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Teras













MAKALAH
MUNASABAH AL - QURAN

Ditulis Untuk Melengkapi Mata Kuliah Psikologi Perkembangan
Dosen Pengampu  Muhammad Nashrul Haqqi, S.Th.I., M.Hum.
Semester 3 B


Oleh :
Kelompok 3

1.      Sholihun
2.      Ria Ardiana


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLOTUL ULAMA’ JEPARA
TAHUN PELAJARAN 2014/2015


DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................ i
Daftar Isi......................................................................................................... ii
BAB I      : Pendahuluan................................................................................ 1
A.    Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................. 1
C.    Tujuan Masalah...................................................................... 1
BAB II    : Pembahasan................................................................................. 2
A.    Pengertian Munasabah.......................................................... 2
B.     Macam – Macam Munasabah............................................... 2
C.    Urgensi Memahami Munasabah Dalam Menafsirkan
Al-Qur’an................................................................................ 13
BAB III   : Penutup......................................................................................... 15
A.    Kesimpulan.............................................................................. 15
Daftar Pustaka








[1]Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia,2006), hlm.37
[2]Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, ( Jakarta: Amzah,2009), hlm.101
[3]Ibid
[4]Ade Jamarudin, Epistimologi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Hakim,2011), hlm.182
[5] Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 161.
[6]Ade Jamarudin, op cit. hlm. 182-183
[7] Rachmat Syafe’I, op. cit. hlm.39
[8]Shubhi Al-Shalih, Mubahis Fi‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al’ilm Li Al-Malayin, 1977), hlm. 156
[9]Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, cet. II, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa,2003), hlm, 51.
[10] Kadar M. Yusuf, op cit, hlm.106
[11] Ibid, 105-106
[12] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta : Teras, 2009),hlm. 180
[13]Abu Anwar, Ulumul Qur’an, (Pekanbaru: Amzah, 2002), hlm.70
[14]ibid
[15]Rachmat Syafe’I, op cit. hlm.42
[16] Ibid. hlm.43
[17][17] Abu Anwar, op. cit. hlm.71-72
[18] Ibid,. hlm.73-74
[19] Rachmat Syafe’I, op cit. hlm. 45
[20] Ibid, hlm. 47
[21]Usman, op cit, hlm. 188
[22]Ade Jamarudin, op cit. hlm. 185-186
[23] ibid
[24]Usman, op. cit. hlm 172
[25]Ibid, 173-174

0 komentar:

Posting Komentar

Advertise

BTemplates.com

BTemplates.com

Subscribe & Follow

Popular Posts