MAKALAH
SISTEM PELAKSANAAN
PENDIDIKAN PADA MASA SEBELUM ISLAM
Di Susun untuk Memenuhi
Tugas Kelompok Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Di Ampu oleh :
Drs. Sunhaji Sutekno,
MM
Oleh
Kelompok II
1. Luthfiani Ulifatul Hidayah
2. Ni’matul Lis Insyiroh
3. Nur Likah
4. Siti Afniatin
UNIVERSITAS ISLAM
NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)
JEPARA 2014
KATA PENGANTAR
Dengan
Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, penulis memanjatkan puji
syukur atas kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan hidayahNya, penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muhammad saw beserta sahabat, keluarga, dan para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman.
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis sedikit mengalami kesulitan dan rintangan.
Namun berkat bantuan yang diberikan dari berbagai pihak, kesulitan-kesulitan
tersebut bisa teratasi dengan baik. Dengan demikian, lewat lembaran ini penulis
hendak menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka, teriring do’a dan segala
bantuannya, sehingga bernilai ibadah disisiNya.
Akhirnya
oenulis menyadari bahwa makalah ini bukanlah sebuah proses akhir dari
segalanya, melainkan langkah awal yang masih memerlukan banyak koreksi. Oleh
karena itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya. Amiiinnn .....
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
..................................................................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI
..............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah ................................................................
B. Rumusan Masalah
........................................................................
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Masa Pembinaan Pendidikan Islam
.............................................
B. Pelaksanaan Pendidikan di Makkah
............................................
C. Pelaksanaan Pendidikan di Madinah
..........................................
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
....................................................................................
INDEKS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah
pendidikan islam mempunyai manfaat bagi umat Islam dalam meneladani proses
pendidikan islam semenjak masa Rasulullah saw, masa sahabat, ulama-ulama besar,
dan zaman pemuka gerakan pembaruan pendidikan Islam.
Secara
akdemis sejarah pendidikan islam bermanfaat untuk mengetahui dan memahami
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam sehingga dapat untuk memecahkan
problematika pendidikan islam dimasa kini karena kemajuan IPTEK.
Pola pendidikan yang dirumuskan oleh
negara barat, muatan nilai ruhiyahnya sangatlah minim dan lebih mengedepankan
logika, materialisme, serta memisahkan antara agama dengan kehidupan.
Implikasi
yang dapat dirasakan namun jarang disadari adalah munculnya degradasi moral
yang dialami oleh generasi masa kini.
Periode
klasik merupakan masa gemilang bagi umat islam yang meliputi banyak aspek
kehidupan.
Agama
Islam memberikan motivasi yang sangat jelas agar pemeluknya berkarya untuk
mencapai kemajuan dan kejayaan. Kemajuan dan kejayaan tercapai karena ilmu
pengetahuan yang melalui proses pendidikan. Allah mengutus seorang rasul yaitu
Muhammad saw merubah perilaku jahiliyah bangsa Arab. Salah satu usaha keras
Beliau adalah menanamkan proses pendidikan yang sangat baik. Pada masa
Rasulullah sesuai dengan kondisi sosial politik pada masa itu melalui tahapan
yang terbagi pada periode Makkah dan periode Madinah.
Pada periode Makkah, nabi Muhammad
lebih menitikberatkan pembinaan moral dan akhlak serta tauhid kepada masyarakat
Arab yang bermukim di Makkah dan pada periode Madinah nabi Muhammad melakukan
pembinaan dibidang sosial politik. Disinilah pendidikan islam berkembang pesat.
B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan tahapan pelaksanaan pembinaan
pendidikan Islam pada zaman nabi!
2.
Sebutkan
ciri pokok pembinaan pendidikan Islam pada periode Makkah dan pada periode
Madinah!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Pembinaan Pendidikan Islam
Dengan
masa pembinaan pendidikan Islam, yang dimaksudkan adalah masa dimana proses
penurunan ajaran Islam kepada Muhammad SAW dan proses pembudayaannya (masuknya
ke dalam kebudayaan manusiawi, sehingga diterima dan menjadi unsur yang menyatu
dalam kebudayaan manusia) berlangsung. Masa tersebut berlangsung sejak Muhammad
menerima wahyu dan menerima pengangkatannya sebagai rasul, sampai dengan
lengkap dan sempurnanya ajaran Islam menjadi warisan budaya umat Islam,
sepeninggal Muhammad SAW. Masa tersebut berlangsung selama 22 tahun atau 23
tahun, sejak beliau menerima wahyu pertama kali, yaitu 17 Ramadhan 13 tahun
sebelum Hijrah (bertepatan dengan 6 Agustus 610 M) sampai dengan wafatnya pada
tanggal 12 Rabi’ul Awwal 11 Hijrah (bertepatan dengan 8 Juni 832 M).
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh para rasul yang
telah diutus oleh Allah, adalah untuk meluruskan dan memacu perkembangan budaya
umat manusia. Demikian pula halnya dengan ajaran Islam yang dibawa oleh
Muhammad, yang dalam bentuknya yang terakhir, berfungsi untuk meluruskan
perkembangan budaya umat manusia yang ada pada zamannya dan memacu perkembangan
selanjutnya. Dengan demikian, tugas Muhammad adalah menata kembali unsur-unsur
budaya yang telah ada di kalangan bangsanya dan meletakkan unsur-unsur baru
yang akan menjadi dasar bagi perkembangan budaya berikutnya. Dan tugas ini
bukan hanya tertuju kepada bangsany sendiri, tetapi mengarah kepada
pengembangan budaya seluruh umat manusia, sebagaimana ditegaskan dalam firman
Allah:
“Dan
kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (QS. Saba’ ayat 28)”
Namun
demikian, ia memulai dan berhadapan
langsung dengan warisan budaya bangsanya (Bangsa Arab) karena disanalah ia
lahir meskipun ia diutus oleh Allah untuk seluruh alam (manusia).
Bangsa
Arab adalah keturunan Ibrahim dan anaknya Ismail, oleh karena hakikatnya
kebudayaan Bangsa Arab yang dihadapi Muhammad adalah warisan budaya nabi
Ibrahim, maka tentunya masih juga terdapat unsur-unsur ajaran Islam yang telah
dibudayakan oleh Ibrahim dan Ismail ke dalamnya. Tetapi karena sudah berjalan
dalam waktu yang cukup panjang maka unsur-unsur Islam tersebut tidak lagi
tampak dalam bentuk yang jelas, bahkan ada bagian-bagian yang sudah berubah
sama sekali. Di antara warisan Ibrahim yang masih nampak jelas dan terpelihara
adalah Ka’bah yang menjadi sentral budaya Islami pada zaman Ibrahim dan Ismail,
dan secara turun temurun tetap menjadi sentral budaya dikalanngan bangsa Arab,
walaupun ciri-ciri keislamannya semakin memudar. Ternyata Muhammadpun tetap
menggunakan warisan Ibrahim (ka’bah) tersebut sebagai sentral setelah
membersihkannya dari perilaku dan perbuatan-perbuatan menyimpang dari ajaran
Islam, misalnya penyembahan terhadap berhala-berhala.
Intisari
warisan Ibrahim dengan Ka’bah sebagai pusatnya adalah ajaran tauhid. Dan
Muhammad memulai tugasnya dengan membersihkan tauhid ini dari syirik dan
penyembahan terhadap berhala-berhala, sehingga mutiara tauhid yang telah pudar
cahayanya pada masa itu menjadi cemerlang kembali dan menyinari seluruh segi
warisan yang ada. Dengan demikian nampaklah mana-mana unsur budaya yang
menyeleweng yang perlu diluruskan kembali, mana yang lapuk yang perlu diganti,
dan mana-mana pula yang perlu ditambah dan dibangun yang lebih indah, lebih
baik, dan sesuai dengan kebutuhan hidup di bawah sinar tauhid tersebut.
Intisari
yang dibawa oleh Muhammad dan yang digunakan olehnya untuk megadakan operasi
pembedahan terhadap warisan Ibrahim yang telah banyak menyimpang dari
aslinya tersebut, tidak lain adalah apa yang terlukiskan dalam surat Alfatihah
(pembukaan) yang merupakan intisari dari seluruh wahyu Allah yang diwahyukan
kepada Muhammad.
Pelaksanaan
pendidikan Islam pada zaman Nabi dapat dibedakan menjadi dua tahap, baik dari
segi waktu dan tempat penyelenggaraan, maupun dari segi isi dan materi
pendidikannya, yaitu: (1) tahap/fase Makkah, sebagai fase awal pembinaan
pendidikan Islam, dengan Makkah sebagai pusat kegiatannya, (2) tahap/fase
Madinah, sebagai fase lanjutan (penyempurnaan) pembinaan/pendidikan Islam
dengan Madinah sebagai pusat kegiatannya.
B. Pelaksanaan Pendidikan Islam di Makkah
Sebelum
Muhammad memulai tugasnya sebagai Rasul, yaitu melaksanakan pendidikan Islam
terhadap umatnya, Allah telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan
tugas tersebut secara sempurna, melalui pengalaman, pengenalan, serta peran
sertanya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan budayanya. Dengan potensi
fitrahnya yang luar biasa, ia mampu secara sadar mengadakan penyesuaian diri
dengan masyarakat lingkungannya, tetapi tidak larut sama sekali ke dalamnya. Ia
mampu menyelami kehidupan masyarakatnya, dan dengan potensi fitrah yang luar
biasa mampu mempertahankan dirinya untuk tidak hanyut terbawa arus budaya
masyarakatnya. Bahkan ia mampu menemukan mutiara-mutiara Ibrahim yang sudah
tenggelam di dalam lumpur budaya masyarakat tersebut.
Dalam
usahanya menemukan kembali warisan nabi Ibrahim, Muhammad menempuh jalan merenung
dan memikirkan keadaan dan situasi masyarakat sekitarnya. Haekal melukiskan:
“Dikalangan masyarakatnya, dialah orang yang banyak berfikir dan merenung. Jiwa
yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai persiapan kelak akan
menyampaikan risalah Tuhannya kepada umat manusia, serta mengantarkannya kepada
kehidupan rohani yana hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja
melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya
ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya
sebagai orang yang akan menerima risalahNya.
Diantara
tradisi yang ad dikalanngan masyarakatnya, yang rupanya juga warisan Ibrahim,
adalah tradisi bertahannus, yaitu suatu cara menjauhkan diri dari keramaian
orang, berkhalwat dan mendekatkan diri pada Tuhan, dengan bertapa dan berdo’a
mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. Muhammadpun sering melakukan
tahannus ini, untuk mendapatkan rejeki dan kebenaran dari Tuhan. Ia sering
melakukan tahannus tersebut di Gua Hira’. Disanalah ia mendapatkan apa yang
dicarinya, yaitu kebenaran dan petunjuk yang berasal dari Allah. Disana pulalah
Muhammad dilantik oleh Allah menjadi rasul, menjadi pendidik untuk umatnya.
Menjelang
pengangkatnnya sebagai rasul Allah, dalam tahannus atau khalwatnya dalam Gua
Hira’, pada bulam Ramadhan, datanglah kepastian dalam dirinya bahwa ia telah
mendaptkan kebenaran yang dicarinya itu.
Muhammad
mulai menerima wahyu dari Allah sebagai petunjuk dan intruksi untuk
melaksanakan tugasnya, sewaktu beliau telah mencapai umur 40 tahun, yaitu pada
tanggal 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijrh (6 Agustus 610 M).
Nabi
Muhammad mendidik umatnya secara bertahap. Ia mulai dengan keluarga dekatnya,
yang pada mulanya secara sembunyi-sembunyi. Mula-mula diajaknya istrinya,
Khadijah, untuk beriman dan menerima petunjuk-petunjuk Allah, kemudian diikuti
oleh anak angkatnya Ali bin Abi Thalib (anak pamannya) dan Zaid bin Harisah
(seorang pembantu rumah tangganya, ynag kemudian diangkat menjadi anak
angkatnya). Kemudia ia mulai dengan seruannya kepada sahabat karib yang telah lama bergaul
dengannya seperti Abu Bakar Shiddiq, yang segera menerima ajakannya. Dan secara berangsur-angsur ajakan teresebut
disampaikan secara lebih meluas, tetapi masih terbatas dikalangan keluarga
dekat dari suku Quraisy saja. Maka berimanlah antara lain: Usman bin Affan,
Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin ‘Auf, Talhah bin
Ubaidillah, Abu Ubaidillah bin Jarrah, Arqam bin Abi Arqam, Fatimah binti
Khattab bersama suaminya Said bin Zaid, dan beberapa orang lainnya. Mereka
itulah orang yang mula-mula masuk Islam (Assaabiquuna al awwaluuna), dan mereka
secara langsung diajar dan dididik oleh
nabi untuk menjadi muslim dan siap menerima dan melaksanakan petunjuk dan
perintah dari Allah ynag akan turun kemudian. Pada tahap awal ini, pusat
kegiatan Islam tersebut dilaksanakan secara tersembunyi di rumah Arqam bin Abi
Arqam.
Dengan
turunnya perintah-perintah tersebut, maka mulailah Muhammad memberikan
pengajaran kepada umatnya secara terbuka dan lebih meluas, bukan hanya
dilingkungan kaum keluarga dikalangan penduduk Makkah, tetapi juga kepada
penduduk di luar Makkah, terutama mereka yang datang ke Makkah, baik dalam
rangka ibadah haji maupun perdagangan. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi
oleh Nabi Muhammad SAW pun semakin terbuka pula. Tetapi semua itu dihadapinya
dengan penuh kesabaran dan dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan selalu
memberikan petunjuk dan pertolongan dalam menghadapi tantangan tersebut.
a. Pendidikan tauhid, dalam teori dan
praktek
Sebagaimana
dikemukakan, bahwa Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan tugas kerasulannya,
berhadapan dengan nilai-nilai warisan Ibrahim yang telah banyak menyimpang dari
yang sebenarnya. Inti warisan tersebut adalah ajaran tauhid. Tetap ajaran
teresebut dalam budaya yang dihadapi oleh Muhammad, telah pudar dalam budaya
masyarakat bangsa Arab jahiliyah. Penyembahan terhadap berhala dan perbuatan
syirik lainnya menyelimuti ajaran tauhid. Nama Allah sebagai pencipta alam,
bumi, langit, dan seisinya, memang masih ada dalam kepercayaan mereka, tetapi
larut dalam nama-nama berhala dan sesembahan lainnya. Inilah tugas Muhammad,
yaitu untuk memancarkan kembali sinar tauhid dalam kehidupan umat manusia
umumnya, dan yang pertama dihadapinya adalah kehidupan bangsa Arab pada
masanya.
Muhammad
memperoleh kesadaran dan penghayatan yang mantab tentang ajaran tauhid, yang
intisarinya adalah yang sebagaimana tercermin dalam surat Alfatihah.
Pokok-pokoknya adalah:
1) Bahwa Allah adalah pencipta alam semesta
yang sebenarnya. Dialah satu-satunya yang mengatur dan menguasai alam ini
sedemikian rupa, sehingga merupakan ttempat yang sesuai dengan kehidupan
manusia. Dia pulalah yang mengatur kehidupan manusia, mendidik dan
membimbingnya, sehingga mendapatkan kehidupan sebagaimana yang mereka alami.
2) Bahwa Allah telah memberi nikmat,
memberi segala keperluan bagi semua makhlukNya, dan khusus kepada manusia dan
di tambah dengan petunjuk dan bimbingan agar mendaptkan kebahagiaan hidup ynag
sebenar-benarnya.
3) Bahwa Allah adalah raja dihari kemudian,
telah memberikan pengertian bahwa segala amal perbuatan manusia selama di dunia
itu akan diperhitungkan disana.
4) Bahwa Allah adalah sesembahan yang
sebenarnya dan satu-satunya. Hanya kepada Allah segala bentuk pengabdian
ditujukan.
5) Bahwa Allah adalah penolong yang
sebenarnya, dan oleh karenanya hanya kepadaNya lah manusia meminta pertolongan.
6) Bahwa Allah sebenarnya yang membimbing
dan memberi petunjuk kepada manusia dan mengarungi kehidupan dunia yang penuh
rintangan, tantangan, dan godaan.
b. Pengajaran Alqur’an di Makkah
Alqur’an
adalah intisari dan sumbeer pokok dari ajaran Islam yang diajarkan oleh
Muhammad SAW kepada umatnya.
Tugas
Muhammad disamping mengajarkan tauhid juga mengajarkan Alqur’an kepada umatnya,
agar secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya, yang selanjutnya akan
menjadi warisan ajaran secara turun temurun, dan menjadi pegangan serta pedoman
hidup bagi kaum muslimis sepanjang zaman.
Pada
masa permulaan Nabi Muhammad SAW mengajarkan Islam di Makkah, telah ada
beberapa orang dikalangan masyarakatnya yang pandai tulis-baca. Mereka antara
lain adalah: Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thallib, Utsman bin Affan, Abu
Ubaidah bin Aljarrah, Talhah, Yazid bin Abu Sufyan, Abu Hudaifah bin Utbah, Abu
Sufyan bin Harb, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan lain-lain. Bahkan dikalangan
wanita, terdapat nama-nama Hafsah istri Nabi Muhammad SAW, Umi Kulsum binti
Uqbah, Aisyah binti S’ad, Al-Syifak binti Abdullah Al-Adawiyah dan Karimah
binti Al-Miqdad, yang pandai baca-tulis.
C. Pelaksanaan Pendidikan Islam di Madinah
Hijrah
dari Makkah ke Madinah bukan hanya sekedar perpindahan dan menghindarkan diri
dari tekanan dan ancaman kaum Quraisy dan penduduk Makkah yang tidak
menghendaki pembaharuan terhadap ajaran nenek moyang mereka, tetapi juga
mengandung maksud untuk mengatur potensi dan menyusun kekuatan dalam menghadapi
tantangan lebih lanjut, sehingga nanti akhirnya terbentuk masyarakat baru yang
di dalam bersinar kembali sinar tauhid warisan Ibrahim yang akan disempurnakan
oleh Muhammad SAW melalui wahyu Allah.
Sebelum
hijrah ke Madinah (nama sebelumnya adalah Yasrib) telah banyak di antara
penduduk di kota ini memeluk Islam. Penduduk Madinah pada mulanya terdiri dari
suku-suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang saling berhubungan dengan baik.
Dari bangsa Yahudi tersebut suku-suku bangsa Arab sedikit banyak mengenal
Tuhan, agama Ibrahim, dan sebagainya. Sehingga setelah ajaran Islam sampai
kepada mereka, agak mudah mereka menerimanya.
Kedatangan
Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin Makkah, disambut penduduk Madinah
dengan gembira dan penuh rasa persaudaraan. Maka Islam mendapat lingkungan baru
yang bebas dari ancaman para penguasa Quraisy Makkah, lingkungan yang
memungkinkan bagi Nabi Muhammad SAW untuk meneruskan dakwahnya, manyampaikan
ajaran Islam dan menjabarkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi
ternyata lingkungan yang baru tersebut, bukanlah llingkungan yang betul-betul
baik, yang tiidak menimbulkan permasalahan-permasalahan. Di Madinah, Nabi
Muhammad mengadapi kenyataan-kenyataan yang menimbulkan permasalahan baru.
Beliau menghadappi kenyataan bahwa umatnya terdiri dari dua kelompok yang
berbeda latar belakang kehidupannya, yaitu: (1) mereka yang berasal dari Makkah
yang disebut kemudian dengan nama kaum
Muhajirin, dan (2) mereka yang merupakan penduduk asli Madinah, yang kemudian
disebut sebagai kaum Ansor. Kaum Ansor memang dengan ikhlas menerima kaum
Muhajirin, tetapi bagaimana selanjutnya dengan hidup dan penghidupan mereka
yang tentunya akan menjadi beban kaum Ansor. Dan Nabi Muhammad SAW pun
memerlukan tempat tinggal yang sekaligus berfungsi sebagai pusat kegiatan
bersama, dalam rangka membimbing masyarkat baru di Madinah.
Kenyataan
lain yang dihadapi Nabi Muhammad SAW adalah bahwa masyarakat kaum muslimin yang
baru di Madinah tersebut, berhadapan/tinggal bersama dengan masyarakat suku
bangsa Arab lainnya yang belum masuk Islam dan masyarakat kaum Yahudi yang
memang sudah menjadi penduduk Madinah. Mereka ini dan lebih-lebih kaum Yahudi,
tentunya tidak merasa senang dengan bentuknya masyarakat naru kaum muslimin.
Dalam waktu itu, ancaman dari kaum Quraisy Makkah untuk sewaktu-waktu datang
menyerbu dan menghancurkan kaum muslimin yang masih dalam keadaan lemah itu
merupakan kenyataan lainnya yang tidak dapat diabaikan.
Tugas
selanjutnya yang dihadapi oleh Muhammad SAW adalah membina dan mengembangkan
persatuan dan kesatuan masyarakat Islam yang baru tumbuh tersebut, sehingga
mewujudkan satu kesatuan sosial dan satu kesatuan politik. Kaum Ansor dan kaum
Muhajirin yang berasal dari daerah yang berbeda pula sebelum bersatu membentuk
masyarakat Islam, berasal dari suku-suku bangsa yang sering berselisih. Di
samping itu, mereka berhadapan pula dengan masyarakat Madinah lainnya yang
belum masuk Islam dan bangsa Yahudi yang telah merupakan masyarakat yang
mantab. Dan bukan tidak mungkin bahwa orang-orang Yahudi tersebut berusaha
untuk merintangi, bahkan menghancurkan pembentuka masyarakat baru kaum muslimin
itu.
Dipihak
lainnya, kaum musyrikin Makkah merupakan ancaman yang harus selalu dihadapi
dengan waspada. Adalah sangat mungkin jika kaum musyrikin Makkah bekerja sama
dengan kaum musyrikin Madinah, atau dengan orang-orang Yahudi bahkan dengan
kabilah-kabilah lain disekitar Madinah, dalam usaha menghancurkan umat Islam
dan masyarakat Islam yang baru dibentuk itu.
Maka
setelah pembangunan masjid dan temapt tinggal selesai, Nabi Muhammad SAW
mulai meletakkan dasar-dasar
terbentuknya masyarakat yang bersatu padu secara intern (ke dalam), dan ke luar
diakui dan disegani oleh masyarakat lainnya (sebagai satu kesatuan politik).
Dasar-dasar tersebut adalah:
(1) Nabi Muhammad mengikis habis sisa-sisa
permusuhan dan pertentangan antarsuku, dengan jalan mengikat tali persaudaraan
di antara mereka. diikatnya tali persaudaraan antara sesama kaum Muhajirin,
kemudian di antara mereka sengaja dengan beliau persaudaraan dengan kaum Ansor,
Abu Bakar dipersaudarakan dengan Khoriyah bin Zubair, Umar dengan Itban bin
Malik, Abu U baidah dengan Abdurrahman bin Auf serta Sa’ad bin Al Rabi’, Utsman
bin Affan dengan Uas bin Sabit al Munzir yang telah dipersaudarakan menjadi
keluarga Bani Al-Najjar, Talhah bin Ubaidullah dengan Ka’ab bin Malik dan
seterusnya.
(2) Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari,
Nabi Muhammad menganjurkan kepada kaum Muhajirin untuk berusaha dan bekerja
sesuai dengan kemampuan dan pekerjaan masing-masing seperti di Makkah.
(3) Untuk menjamin kerja sama dan saling
menolong dalam rangka membentuk tata kehidupan masyarakat yang adil dan makmur,
turunlah syari’at zakat dan puasa, yang merupakan pendidikan bagi warga
masyarakat dalam tanggung jawab sosial, baik secara material maupun moral.
(4) Suatu kebijaksanaan yang efektif dalam
pembinaan dan pengembangan masyarakat baru di Madinah, adalah disyari’atkannya
media komunikasi berdasarkan wahyu, yaitu shalat jum’at yang dilakukan secara
berjama’ah dan azan.
Rasa
memiliki harga diri dan kebanggaan sosial lebih mendalam lagi setelah Nabi
Muhammad SAW mendapat perkenan dari Allah untuk memindahkan kiblat dalam shalat
dari Baitul Magdis ke Baitul Haram di Makkah, karena dengan demikian mereka
merasa sebagai umat yang memiliki identitas, terlepas dari ikatan psikologis
dengan pusat dan tempat suci agama lain. Dengan berpindahnya kiblat ke Masjidil
Haram tersebut, berarti pula terjalinnya kembali hubungan psikologis dengan
warisan nenek moyang mereka, Ibrahim dan Ismail.
Pembinaan
kesatuan dan persatuan sosial yang menimbulkan solidaritas sosial yang semakin
tinggi itu dibarengi dengan pembinaan ke arah satu kesatuan politik sekaligus.
Nabi Muhammad SAW berusaha membawa umatnya ke dalam suatu kehidupan yang
mandiri, yang tidak menyandarkan diri kepada kekuatan dari luar. Mereka
berusaha untuk mengatur diri sendiri, sehingga merupakan kekuatan politik yang
diakui oleh dan hidup bersama masyarakat sekitarnya, tanpa adanya campur tangan
dari luar. Dalam rangka pembinaan kesatuan politik tersebut pertama-tama Nabi
Muhammad membuat penjanjian kerja sama dengan orang-orang Yahudi di Madinah.
Perjanjian tersebut sekaligus berarti bahwa masyarakat baru yang dibentuknya, telah
mendapatkan pengakuan dari pihak Yahudi yang memang sudah lama merupakan
sesuatu kekuatan politik yang berpengaruh di Madinah.
Perjanjian
tersebut dibuat secara tertulis, yang berisi tata hubungan timbal balik antara
umat Islam dengan umat Yahudi Madinah, pengakuan atas antara agama dan harta
benda mereka. Bunyi perjanjian tersebut adalah:
Dengan
nama Allah pengasih dan penyayang, surat perjanjian ini dari Muhammad, Nabi,
antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yasrib
serta yang mengikuti mereka dan mebyusul mereka dan berjuang bersama-sama
mereka, bahkan mereka adalah satu umat di luar golongan orang lain.
Kaum
Muhajirin dari kalangan Quraisy adalah tetap mengurus adat kebiasaan baik yang
berlaku dikalangan mereka, bersama-sama membayar tebusan darah antara sesama
mereka dengan mereka menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan
adil di antara sesama orang-orang beriman.
Bahwa
Bani Auf tetap menurut adat kebiasaan mereka yang berlaku, bersama-sama membayar
ttebusan darah seperti yang sudah-sudah. Dan setiap golongan harus menebus
tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama
orang-orang beriman.
Perjanjian
ini yang sering juga disebut Konstitusi Madinah, telah merupakan dokumen
autentik yang mendasari terbentuknya masyarakat Islam pertama dan mewujudkannya
sebagai satu kesatuan sosial dan politik yang mandiri. Dengan berlakunya piagam
Madinah tersebut, maka masyarakat Islam telah diakui secara resmi mempunyai
kedaulatan di Madinah.
Pendidikan
sosial yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya berlangsung
terus untuk bimbingan wahyu Tuhan. Dan wahyu Tuhan yang turun pada periode ini
adalah dalam rangka memberikan petunjuk bagi Muhammad SAW dalam memberikan
keputusan-keputusan dan mengambil kebijaksanaan untuk membina umat dan
masyarakat Islam.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelaksanaan
pembinaan pendidikan Islam pada zaman Nabi dapat dibedakan menjadi dua tahap,
baik dari segi waktu dan tempat penyelenggaraan, maupun dari segi isi dan
materi pendidikannya, yaitu: (1) tahap/fase Makkah, sebagai fase awal pembinaan
pendidikan Islam, dengan Makkah sebagai pusat kegiatannya, dan (2) tahap/fase
Madinah, sebagai fase lanjutan (penyempurnaan) pembinaan/pendidikan Islam
dengan Madinah sebagai pusat kegiatannya.
Ciri
pokok pembinaan pendidikan Islam adalah pendidikan tauhid (dalam arti yang
luas), maka pada periode Madinah ini, ciri pokok pendidikan Islam dapat
dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik (dalam artinya yang luas pula).
Tetapi sebenarnya antara kedua ciri tersebut bukanlah merupakan dua hal yang
bisa dipisahkan satu sama lain. Kalau pembinaan pendidikan Islam di Makkah
titik beratnya adalah menanamkan nilai-nilai tauhid ke dalam jiwa setiap
individu muslim, agar dari jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan tercermin
dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan
pembinaan pendidikan di Madinah pada hakikatnya adalah merupakan kelanjutan
dari pendidikan tauhid di Makkah, yaitu
pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik agar dijiwai oleh ajaran
tauhid, sehingga akhirnya tingkah laku sosial politiknya merupakan cermin dan
pantulan sinar tauhid tersebut.
DAFTAR INDEKS
Abdullah Awwalul Islam (Sultan), 145
Abdul Karim Samman Al-Madany
(Syech), 193
Ahli Sunnah Mazhab Syafi’i, 140
Ahli Sunnah Wal Jama’ah, 181
Baitul Hikmah, 98, 186
Darul Muta’allimin, 187
0 komentar:
Posting Komentar